Sunday, March 29, 2009

Belief Tentang IQ Dan Implikasinya

Oleh : Adi W. Gunawan.

Pembaca, anda, saya yakin, pasti pernah melakukan tes IQ. Entah itu saat masih di sekolah, saat mau masuk kerja di perusahaan, atau mungkin saat anda ingin menikah. Lho, apa hubungan menikah dengan tes IQ? Mungkin calon mertua anda, yang memperhatikan faktor bibit, bebet, dan bobot, ingin mendapatkan menantu bibit unggul. Jangan terlalu serius memikirkan pernyataan saya di atas... hanya bercanda.

Kembali saya bertanya pada anda, ”Pernahkah anda melakukan tes IQ? Kalau pernah, berapa skor IQ anda?”

Saya pernah melakukan tes IQ. Dulu... waktu saya masih di awal SMA. Berapa skor IQ saya? Ya jelas tinggi dong. Lha, masa saya yang pintarnya seperti ini IQ-nya biasa-biasa. Kan nggak masuk akal dong.

Sabar... sabar...sekali lagi saya hanya bercanda. Nanti anda pikir saya mengidap narsisisme alias orang yang memandang diri sendiri terlalu tinggi. IQ saya biasa-biasa saja. Nggak terlalu tinggi namun juga nggak sampe jongkok lah.

Saat mendengar bahwa anda harus mengerjakan tes IQ, bagaimana perasaan anda? Apa yang ada di pikiran anda? Berapa skor IQ yang anda harapkan dapat anda capai?

Berapapun skor IQ anda bukan itu yang hendak saya bahas dalam artikel ini. Yang ingin saya bahas adalah apa belief atau kepercayaan anda mengenai IQ. Apakah anda percaya bahwa IQ adalah sesuatu yang fixed, tidak berubah. Ataukah anda percaya bahwa IQ bisa berubah, bisa naik, bisa turun?

Ada dua teori mengenai kecerdasan atau IQ. Teori pertama mengatakan bahwa IQ adalah sesuatu yang tetap, permanen, tidak bisa berubah atau diubah apapun kondisinya. Teori ini mengatakan bahwa setiap orang mempunyai IQ dengan ”kadar” tertentu. Teori ini dikenal dengan nama ”entity theory” of intelligence karena kecerdasan digambarkan sebagai suatu ”makhluk” yang tinggal di dalam diri kita dan kita tidak dapat mengubahnya.

Teori kedua mengatakan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang fixed. Kecerdasan adalah sesuatu yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran. Teori ini dikenal dengan nama ”incremental theory” of intelligence karena kecerdasan digambarkan sebagai sesuatu yang dapat ditingkatkan melalui upaya seseorang.

Pertanyaannya sekarang adalah anda percaya teori yang mana? Yang pertama atau kedua?

Mengapa saya bertanya demikian? Karena setiap belief tentang IQ membawa implikasi yang spesifik.

Oh ya, sebelum saya teruskan, tahukah anda bahwa Alfred Binet merancang tes IQ sebenarnya bukan untuk mengukur tingkat kecerdasan anak, tetapi untuk mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di sekolah publik di Paris. Anak-anak ini selanjutnya akan ditangani secara khusus agar dapat berkembang lebih baik. Jadi, tes IQ bukan bertujuan untuk memberikan label, seperti yang selama ini terjadi di masyarakat kita.

Nah, sekarang mari kita bahas implikasi dari masing-masing belief teori kecerdasan. Saya akan membahas implikasinya terhadap murid sekolah.

Murid yang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap, entah dari mana ia mengadopsi kepercayaan ini, mungkin dari orangtuanya atau gurunya, maka mereka akan sangat peduli dengan skor IQ. Murid tipe ini berusaha untuk bisa tampak dan tampil cerdas. Mereka benar-benar tidak mau tampak atau dipandang sebagai anak bodoh.

Apa yang membuat murid ini, yang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap, bisa tampak cerdas? Yaitu dengan mencapai sukses yang diraih dengan mudah, tanpa harus susah payah, dan mengalahkan murid lainnya. Murid ini akan mulai meragukan kecerdasannya bila berhadapan dengan murid lain yang lebih cerdas, atau saat mereka mengalami kegagalan, kesulitan, atau tugas yang membutuhkan upaya besar untuk menyelesaikannya. Hal ini berlaku bahkan terhadap murid yang mempunyai kadar percaya diri yang tinggi terhadap kecerdasan mereka.

Teori kecerdasan bersifat tetap mengharuskan murid untuk sukses, agar mereka bisa tampak cerdas, dan ini sekaligus membuktikan bahwa mereka mempunyai kadar kecerdasan yang tinggi. Jika mereka tidak sukses berarti kadar kecerdasan mereka rendah. Tidak ada orang yang ingin terlihat bodoh, kan?

Murid yang percaya dengan teori ini melihat tantangan sebagai ancaman bagi harga diri mereka. Mereka akan menolak atau menarik diri dari suatu tugas yang mungkin akan mengungkapkan kekurangan mereka. Saat berhadapan dengan kondisi yang sulit, mereka akan mengalami yang disebut dengan helpless response atau respon ketidakberdayaan.

Bagaimana dengan belief yang mengatakan bahwa kecerdasan dapat dikembangkan? Apa implikasi bagi murid yang percaya dengan teori ini?

Mereka yang percaya dengan teori ini mengakui adanya perbedaan level pengetahuan dan kecepatan dalam mempelajari dan menguasai sesuatu, pada masing-masing individu. Namun mereka lebih fokus pada ide bahwa setiap orang, dengan upaya dan bimbingan, dapat meningkatkan kapasitas intelektual mereka. Ini mirip dengan Zone of Proximal Development-nya Vygotsky

Murid yang yakin bahwa kecerdasan mereka tidak tetap, dapat ditingkatkan, akan terus berusaha. Mereka akan lebih terbuka menghadapi tantangan. Mereka tidak akan khawatir bila mengalami kegagalan. Mengapa bisa demikian? Karena sebenarnya tidak ada yang gagal. Yang mereka alami adalah bagian dari proses pembelajaran. Ya, sudah lumrah kan kalau belajar pasti membutuhkan waktu untuk menguasai materi pelajaran.

Bahkan murid dengan kepercayaan diri yang rendah terhadap kecerdasan mereka tetap akan bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas yang mereka tahu cukup sulit. Mereka akan tetap tekun dan konsisten.

Apa yang membuat murid ini, yang percaya bahwa kecerdasan dapat dikembangkan, merasa cerdas?

Mereka merasa cerdas bukan dengan melihat hasil akhir. Mereka merasa cerdas jika sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan tugas mereka, mengeluarkan segala daya upaya untuk mengerti dan akhirnya menguasai suatu bidang studi tertentu, mengembangkan keterampilan mereka, dan menggunakan pengetahuan mereka, misalnya dalam membantu kawan mereka belajar. Murid-murid tipe ini mempunyai pola sukses yang disebut dengan respon orientasi pada penguasaan atau mastery-oriented response.

Pembaca, dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa teori kecerdasan, yang diyakini oleh masing-masing siswa, memprediksi dan mengakibatkan perbedaan pencapaian.

Anda pasti merasa penasaran dan ingin tahu saya mempercayai teori yang mana, kan?

Saya pribadi percaya pada teori kedua. Saya percaya bahwa kercerdasan dapat dikembangkan. Saya sendiri telah membuktikannya. Nggak percaya?

Baiklah, saya akan menceritakan sedikit mengenai masa kecil saya. Percayakah anda bila saya ini dulunya waktu di SD kelas 1 pernah nggak naik kelas? Sungguh, saya pernah tinggal kelas waktu di SD. Namun inilah yang membuat perbedaan besar. Lha, orang-orang pada umumnya menyelesaikan SD dalam waktu enam tahun, saya tujuh tahun.

Kita semua tahu bahwa SD adalah sekolah dasar. Mungkin ini salah satu alasan mengapa saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Lha, sekolah dasar saja lebih lama dari orang lain. Berarti dasar saya lebih kuat.

Waktu SMP dan SMA saya biasa-biasa saja. Waktu kuliah S1 saya masuk jurusan teknik elektro. Semester tiga saya hampir OD. Selanjutnya waktu di semester atas saya hampir DO. Apa bedanya OD dan DO. Jelas beda. Kalo OD itu Out Dhewe. Artinya saya yang memutuskan keluar sendiri. Kalo DO itu Drop Out alias di-phk oleh perguruan tinggi tempat saya belajar.

Saya lulus S1 dengan predikat ”memprihatinkan”. Bagaimana tidak memprihatinkan, orang-orang selesai kuliah tepat waktu, eh saya malah molor. Pake hampir di-DO segala. IP? Jelas di atas 2.0 lha. Tapi nggak tinggi-tinggi amat. Malu ah kalo harus saya ceritakan di artikel ini. Namun apa yang terjadi waktu saya kuliah S2? Ceritanya berbeda. Saya lulus dengan pujian dan mendapat penghargaan khusus dari rektor sebagai wisudawan terbaik dengan IPK tertinggi.
Anda jelas sekarang mengapa saya percaya pada teori yang kedua? Tapi jangan salah mengerti. Saya bisa mencapai hasil seperti ini karena mendapat bimbingan dari dosen-dosen saya. Saya juga dipaksa keluar dari comfort zone dengan berbagai tugas yang saya dapatkan selama kuliah S2.

Sekarang saya lagi kuliah S3 di Malang. Saya harus nyetir pulang pergi Surabaya – Malang setiap minggu tiga kali. Ada kuliah yang dimulai jam 07.00 pagi. Berarti sya harus berangkat dari Surabaya jam 04.30, karena harus melewati Porong yang macet akibat lumpur Lapindo. Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan gelar doktor tapi lebih untuk mengembangkan kapasitas intelektual saya, sesuai dengan teori kecerdasan yang saya yakini.

So, pembaca, hati-hati dengan belief anda tentang IQ. Mungkin anda tidak sadar bahwa belief anda ini telah tertransfer ke anak anda. Akibatnya? Risiko tanggung sendiri, lho.

No comments:

Post a Comment