Thursday, April 2, 2009

Kita Punya Banyak Diri

Oleh : Adi W. Gunawan


Kita Punya Banyak Diri

I am not who I think I am

I am not who you think I am

I am who I think you think I am

Pembaca, pernahkah anda mengalami saat bangun pagi dan masih mengantuk ternyata diri anda “terpecah” menjadi dua bagian. Satu bagian berkata, “Hei… bangun. Sudah pagi. Sudah waktunya bangun dan berangkat kerja”. Satu bagian lagi berkata, “Nggak usah bangun dulu ah. Masih enak nih kalo diterusin sedikit. Lima menit lagi...lah.”

Atau di lain waktu anda mungkin pernah berada dalam posisi sulit untuk memutuskan sesuatu. Saat anda berpikir keras apa yang harus anda lakukan, eh, ternyata ada beberapa “orang” di dalam diri anda yang saling berdialog, berdebat, bahkan mungkin saling bertengkar. Masing-masing dengan argumentasi sendiri. Masing-masing ingin pendapatnya yang diterima dan dijalankan. Dan anda, karena bingung harus mendengarkan suara yang mana, akhirnya malah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pernah mengalami seperti ini?

Apa yang terjadi? Apakah dalam diri kita ada banyak kepribadian? Apakah kita ”kerasukan”? Lha, kok bisa ada ”orang lain” yang berdialog dalam pikiran kita?

Pembaca, jangan khawatir. Apa yang terjadi, seperti yang saya jelaskan di atas, adalah hal yang normal. Yang nggak normal adalah kalau kita, yang telah sering mengalami hal seperti ini, tetap nggak sadar dan tidak mencari tahu apa sih sebenarnya yang terjadi.

Sebenarnya ada berapa ”diri” dalam diri kita?

Jawabannya bisa macam-macam. Tansactional Analysis (TA) yang berawal dari hasil kerja Paul Federn yang selanjutnya dikembangkan oleh Eric Berne mengatakan dalam diri kita ada lima ”diri”. Ego State Therapy, yang awalnya dikembangkan oleh John Watkins, mengatakan tidak ada jumlah yang pasti. Gestalt Therapy, yang dikembangkan oleh Frederick Perls berdasar Psychodrama-nya Jacob Moreno, tidak menetapkan suatu jumlah tertentu. Voice Dialogue dan Psychosynthesis mengatakan kita punya banyak ”diri”. Carl Jung juga mengatakan hal yang sama, tidak diketahui secara pasti ada berapa banyak ”diri” dalam diri kita.

Namun untuk lebih mudah memahami maka saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Rowan. Menurut Rowan kita punya antara empat sampai sembilan ”diri” atau ”bagian” yang masing-masing adalah tema besar yang menaungi ”sub-diri”. Masing-masing ”diri” mempunyai kehidupan, fungsi, kepribadian, dan tugas masing-masing. Mereka saling terhubung antara satu dengan yang lain.

Oh ya, perlu saya luruskan terlebih dahulu bahwa yang saya jelaskan di artikel ini bukan kepribadian ganda atau Dissociative Identity Disorder (DID) atau Multiple Personality Disorder (MPD).

Jika kita merasa ada lebih dari sembilan ”diri” dalam diri kita maka yang selebihnya itu biasanya merupakan ”aspek” lain dari salah satu dari sembilan ”diri” kita. Jika kurang dari empat maka yang terjadi adalah kita kurang memperhatikan sehingga tidak mengetahui adanya ”diri” lain dalam diri kita.

Siapa saja sembilan ”diri” atau ”bagian” dalam diri kita?

Ada ”diri” yang berperan sebagai Pelindung. Bagian ini melindungi kelemahan kita. Bagian ini yang membuat ”diri” lainnya tersembunyi dan tidak tampak. Bagian ini bisa bergabung dengan Pengkritik.

Ada yang sebagai Pengkritik yang memberitahu kita apa yang salah dan yang benar. Bagian ini sangat suka menggunakan kekuatannya. Ia bisa bergabung atau bekerja sama dengan ”diri” yang lain.

Ada yang sebagai Pendorong yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan, namun kita tunda. Bagian ini kesannya mendukung diri kita karena selalu mengingatkan kita akan hal-hal yang mungkin lupa kita lakukan. Namun dalam kenyataannya ”diri” ini juga yang membuat kita selalu merasa kurang melakukan kerja atau usaha walaupun kita telah melakukan sangat banyak tugas dan pekerjaan.

”Diri” Perfeksionis menetapkan standar yang tinggi untuk diri kita. Bagian ini tampak sangat mendukung kita. Namun bila kita tidak hati-hati justru ia yang membuat kita ”down” karena kita merasa belum melakukan yang terbaik. ”Diri” ini bisa bergabung dan bekerja sama dengan Pengkritik.

”Diri” Pusat Kendali bertugas mengendalikan ”diri” yang lainnya. Dalam diri orang tertentu ”bagian” ini bisa terlalu mendominasi. Ada juga orang yang ”Diri” Pusat Kendali-nya lemah sehingga yang mengendalikan dirinya adalah ”Diri” Pengkritik atau ”diri” yang lain. ”Diri” Pusat Kendali akan sangat membantu kita bila ia dapat berperan secara seimbang dan proporsional.

”Diri” Anak Dalam atau Inner Child bisa muncul dalam beberapa bentuk sifat dan karakter. Selama ini banyak buku atau pembahasan mengenai Inner Child. Namun sayangnya kebanyakan orang menganggap bahwa hanya ada satu macam Inner Child.

Berikut adalah beberapa sub-diri dari Inner Child :

- Anak Penurut – anak yang selalu ingin disukai dan akan melakukan apa saja demi mendapat persetujuan dari hampir semua orang. Jika tidak hati-hati maka ia akan menjadi bagian yang mendorong seseorang untuk selalu menjadi ”Yes Man” demi menyenangkan orang lain.

- Anak Bebas – anak yang spontan dan tahu bagaimana bersenang-senang dan menikmati hidup.

- Profesor Cilik – anak yang selalu menginginkan jawaban untuk segala sesuatu dan membuat kesimpulan tanpa didasarkan pada fakta atau data yang akurat.

- Anak Dependen – anak yang sangat bergantung pada orang lain.

- Anak Kritis – anak yang mengkritik apa saja tanpa didasari pengetahuan yang cukup, sering dapat masalah.

- Anak Pendendam – anak yang tujuan utamanya adalah balas dendam, namun tidak punya banyak ide bagaimana mewujudkan keinginannya ini, dan tidak bersedia mengakui jika ia bermaksud melakukan balas dendam.

- Anak Pelindung Diri Sendiri – anak yang selalu cari aman atau selamat. Anak ini bisa menggunakan cara yang tidak baik demi mencapai tujuannya. Rasa panik yang tinggi menunjukkan adanya trauma di awal masa kehidupan.

Ada bagian yang beperan sebagai ”Diri” Orangtua Yang Peduli atau Sang Bijaksana. Bagian ini bertanggung jawab untuk memberikan dukungan, cinta tanpa syarat, perhatian, pujian, dan penguatan yang bersifat positif. Bagian ini biasanya disebut dengan Guardian Angel atau Protecting Parent. Bagian ini berfungsi melindungi diri kita dan menginginkan kita bahagia.

Ada lagi ”Diri” Pemberontak yang mengurusi kekuasaan, ambisi, dominasi, uang, dan sifat mementingkan diri sendiri. Semua ini tampak seperti ”diri” yang terpisah. Namun bila kita amati dengan saksama maka semua ”diri” ini mempunyai satu tema sentral yang sama. Seringkali ”Diri” Pemberontak menutupi ”diri” lain yang lemah.

Yang kesembilan adalah ”Diri” Bayangan yang merupakan citra diri negatif kita. Ini adalah ”orang” yang kita tidak ingin menjadi.

Setelah membaca sejauh ini anda mungkin bertanya, ”Dari mana sumber ”diri” yang dijelaskan di atas? Bagaimana proses pembentukan ”diri”?”

Ada enam hal yang mempengaruhi pembentukan ”diri” dalam diri kita.

Pertama adalah peran yang kita mainkan. Peran, kalau dalam kehidupan sehari-hari, adalah profesi atau pekerjaan kita. Misalnya peran sebagai hakim, guru, pimpinan perusahaan, atau peran yang lain.

Seringkali seseorang begitu larut dalam perannya dan sebagai akibatnya ia tidak bisa memainkan peran lainnya. Misalnya ia adalah seorang wanita yang memimpin suatu perusahaan besar. Nah, sudah tentu perannya di perusahaan berbeda dengan peran di rumah tangga. Jika wanita ini tidak hati-hati maka ia akan menjalankan rumah tangganya seperti perusahaan. Dan sudah tentu ia akan menempatkan suaminya sebagai bawahannya.

Kedua adalah lingkungan. Lingkungan, lebih tepatnya orang-orang di sekitar kita, akan mempengaruhi kita dan bisa membuat kita menjadi baik atau buruk. Semua bergantung pengkondisian yang kita alami sejak kecil.

Contohnya begini. Ada anak yang tadinya periang, ramah, pemberani, dan suka tantangan. Namun karena salah asuh, salah proses pendidikan di rumah atau di sekolah, akhirnya anak ini menjadi tidak percaya diri, pemalu, rendah diri, tidak berani mengambil keputusan, takut berbuat salah, merasa diri bodoh, dan masih banyak atribut negatif lainnya.

Ketiga adalah konflik internal yang kita alami. Konflik internal ini sebenarnya adalah konflik di antara ”diri” yang ada dalam diri kita. Bila tidak terjadi resolusi atau kompromi atau penyelesaian maka yang akan muncul adalah ”diri” yang lain yang berperan memainkan peran lain. Dengan demikian kepentingan ”pihak” yang konflik dapat diredam namun ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.

Bingung?

Contohnya begini. Misalnya setiap kali anda ingin membuat keputusan penting, anda mengalami konflik diri yang hebat. Akibatnya anda seringkali tidak bisa membuat keputusan. Kalaupun anda akhirnya bisa membuat keputusan, hasilnya seringkali mengecewakan anda. Nah, akhirnya anda tidak lagi mau membuat keputusan karena khawatir kecewa atau gagal seperti pengalaman anda sebelumnya.

Cara keempat kita bisa membentuk ”diri” atau bagian dalam diri kita adalah melalui pengalaman pribadi kita, mulai dari masa kecil.

Pada umumnya kita akan tahu ada dua ”bagian” atau ”diri” yang saling berkomunikasi. Proses ini kita kenal dengan nama dialog internal. Masalah muncul jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik di antara ”diri”. Konflik internal ini harus segera dibereskan agar kita bisa maju dan berkembang.

Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa meskipun terjadi konflik dan ”ribut” di antara ”diri” yang berselisih pendapat namun tujuan tertinggi dari setiap ”diri” itu adalah selalu baik untuk kita.

Bagaimana caranya menyelesaikan perbedaan pendapat atau konflik di antara ”diri”?

Ada banyak teknik yang bisa digunakan. Salah satunya dengan menggunakan Six Step Reframing dalam NLP. Salah duanya adalah dengan menggunakan Parts Therapy dalam hipnoterapi. Untuk lebih jelas mengenai teknik Parts Therapy anda bisa membacanya di buku Hypnotherapy : The Art of Subconscious Restructuring. Ada lagi dengan Ego State Therapy. Selain itu bisa dengan terapi kursi atau Gestalt Therapy.

Namun secara prinsip proses menyelesaikan konflik di antara “diri” terdiri dari lima langkah. Langkah pertama adalah mengenali keberadaan “diri”. Setelah itu menerima keberadaan, sikap, karakter, atau kepribadian dari “diri”. Langkah ketiga adalah koordinasi. Pada tahap ini kita mencari tahu hubungan antara masing-masing “diri” yang konflik. Langkah keempat adalah integrasi. Pada tahap ini kita membantu “diri” yang konflik untuk bisa menemukan resolusi, atau paling tidak melakukan kompromi, sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik. Dan langkah terakhir adalah sintesis yang merupakan proses harmonisasi menuju penemuan Diri Transpersonal. Pada tahap ini kita menyadari siapa diri kita yang sesungguhnya.

Satu hal yang perlu diwaspadai saat kita berusaha mendamaikan dua bagian atau “diri” yaitu kita hanya berperan sebagai mediator. Jika konflik ringan terjadi dalam diri kita maka kita dapat melakukan mediasinya sendiri. Bila konfliknya cukup berat maka perlu meminta bantuan orang lain sebagai operator.

Apakah penting untuk menyelesaikan konflik di antara ”diri” dalam diri kita?

Oh, sangat penting. Baru-baru ini, saat membantu peserta Supercamp Becoming a Money Magnet meng-instal program pikiran mengenai masa depan, ada seorang peserta mengalami konflik diri yang cukup hebat.

Ceritanya begini. Peserta ini ingin sukses di masa depan. Ia dibimbing untuk meng-instal program sukses di pikiran bawah sadarnya. Pada tahap awal semuanya berjalan mulus. Namun saat ia menginstal program untuk mendukung keberhasilan yang besar dalam hidupnya, nah, saat ini muncul penolakan dari ”diri” yang lain.

Satu ”diri” ingin peserta ini sukses. Sedangkan ada satu ”diri” lainnya menolak. Terjadi dialog internal yang intens. Bagian yang menolak berkata, ”Hei.. saya tidak mau anda kerja keras seperti itu. Saya khawatir anda sakit. Saya adalah bagian yang mengurusi kesehatan anda. Kalau anda tetap memaksa mau mencapai hasil seperti yang anda inginkan, dan saya tahu itu butuh perjuangan yang tidak sedikit, kerja keras, ditambah lagi usia anda yang sudah agak tua, maka saya akan menghambat dan membuat anda tidak bisa bekerja”.

Apa yang terjadi setelah ini?

Ternyata peserta ini mengabaikan pesan dari ”diri” yang menolak. Ia tetap berusaha menginstal program pikiran yang mendukung ia mencapai sukses besar.

Akibatnya?

Secara tiba-tiba peserta ini merasakan pinggang sebelah kiri sangat sakit. Semakin ia memaksa menginstal program maka sakitnya semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia memutuskan menunda menginstal programnya. Begitu ia berhenti menginstal program maka berhenti pula rasa sakit di pinggang sebelah kirinya. Rasa sakit ini adalah manifestasi dalam bentuk realita fisik dari penolakan yang dilakukan ”diri” yang tidak setuju dengan keinginan peserta ini.

Nah, bagaimana cara mengatasi penolakan atau sabotase ini?

Kita perlu mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh ”diri” yang menolak. Lakukan dialog dengan tenang dan netral. Tidak boleh memihak atau menghakimi. Dapatkan resolusi. Atau paling tidak, ciptakan kompromi sehingga bagian atau ”diri” yang menolak bisa memaklumi atau menerima serta tidak melakukan sabotase. Syukur-syukur ia bersedia mendukung kita untuk sukses.

Ada peserta yang bertanya pada saya, ”Apa boleh kita membekukan atau men-deactivate atau menon-aktifkan bagian yang ”nakal”, bagian yang menghambat kemajuan kita?

Tidak boleh. Jangan sekali-kali melakukan hal ini karena akan sangat berbahaya. Apapun yang diinginkan oleh ”diri” yang menghambat kita, ini semua demi kebaikan kita. Dan kita tidak tahu apa peran lainnya dari ”diri” yang menghambat kita.

Maksudnya begini. Ada kasus di mana ada satu ”diri” atau bagian dari klien yang tidak mau diajak berunding untuk menyelesaikan masalah. Karena jengkel si terapis, yang kurang paham dengan teknik parts therapy atau terapi bagian atau ”diri” dalam diri seseorang, akhirnya mengambil langkah mudah, jalan pintas, yaitu membekukan atau menonaktifkan bagian ini.

Apakah masalah terselesaikan?

Sekilas pandang, ya. Namun ternyata bagian yang dibekukan ini juga adalah bagian atau ”diri” yang menangani rasa percaya diri, kemampuan berpikir kritis, dan membuat keputusan dengan cepat, dan efektif.

Akibatnya?

Klien ini akhirnya menjadi bingung dan tidak bisa beroperasi secara normal sebagai seorang manusia. Ia merasa ada bagian dari pikirannya yang lumpuh. Ia menjadi bingung, rasa percaya dirinya drop, dan tidak bisa membuat keputusan.

Dibutuhkan bantuan terapis lainnya yang benar-benar handal dan mengerti mengenai seluk beluk dan cara kerja ”diri” atau bagian untuk bisa membantu klien ini. Prosesnya tidak mudah karena ”diri” ini terlanjur marah, ngambek, dan tidak mau berkomunikasi karena telah dibekukan oleh terapis sebelumnya.

Setelah terjadi resolusi, klien ini bisa berubah dan semakin berkembang hidupnya karena konflik ”diri” yang ia alami sebelumnya dapat diselesaikan dengan baik.

Nah, pembaca mulai sekarang, saran saya, perhatikanlah internal dialog yang terjadi dalam diri anda di antara ”diri”dalam diri anda.

No comments:

Post a Comment