Thursday, April 2, 2009

Symptom Becomes Habit

Oleh : Adi W. Gunawan

In short, the habits we form from childhood make no small difference, but rather they make all the difference.
~Aristotle

Pembaca, kita sudah sangat sering mendengar pepatah ”First we create our habits, then our habits create us” yang artinya “Pertama-tama kita membentuk kebiasaan, selanjutnya kebiasaan akan membentuk kita”. Apa yang Aristoteles katakan dengan sangat tepat menjelaskan pengaruh habit terhadap hidup kita,“Singkatnya, kebiasaan/habit yang kita bentuk sejak masa kecil menentukan kualitas hidup kita”.

Kamus elektronika Encarta mendefinisi symptom:
• indication of illness felt by patient: an indication of a disease or other disorder, especially one experienced by the patient, e.g. pain, dizziness, or itching, as opposed to one observed by the doctor sign.
(indikasi penyakit yang dirasakan oleh pasien: suatu indikasi penyakit atau gangguan lainnya, khususnya yang dialami oleh pasien, mis. sakit, pusing/mual, atau gatal, bukan seperti yang diamati oleh dokter)
• sign of something else: a sign or indication of the existence of something, especially something undesirable.
(tanda dari sesuatu yang lain: sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu, khususnya sesuatu yang tidak diinginkan)

Sedangkan habit didefiniskan:
• regularly repeated behavior pattern: an action or pattern of behavior that is repeated so often that it becomes typical of somebody, although he or she may be unaware of it
(pola perilaku yang diulang secara teratur; sebuah tindakan atau pola perilaku yang sangat sering diulangi sehingga menjadi ciri khas seseorang, walaupun ia tidak menyadarinya)
• attitude: somebody's attitude or general disposition
(sikap: sikap seseorang atau watak/kencenderungan umum)

Nah, apa hubungan antara simtom dan habit? Sangat erat.

Habit atau kebiasaan yang tampak dalam perilaku seseorang sebenarnya merupakan akibat dari suatu simtom yang merupakan bagian dari suatu akar masalah yang serius.

Bingung?

Ok, kalau begitu saya akan berikan contoh konkrit agar bisa lebih jelas.

Saya akan mulai dengan kasus seorang anak yang pernah saya tangani.

Ceritanya begini. Saya mendapat telpon dari orangtua murid dari salah satu sekolah terkenal, di Surabaya barat, dan berkeluh kesah mengenai anaknya, sebut saja Toni.

Saat saya tanyakan apa masalahnya... eh... saya jadi kaget sendiri. Keluhannya adalah Toni mogok sekolah. Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah Toni baru berusia 3 (tiga) tahun. Wah, saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar hal ini.

Kesimpulan saya, setelah mendengar cerita Ibu ini adalah Toni mengalami school phobia alias takut sekolah. Saya jelaskan pada Ibu itu bahwa yang menjadi akar masalah sebenarnya mudah untuk kita ketahui. Toni tidak mau sekolah bila bukan karena perlakuan orangtua maka pasti akibat dari perlakuan guru, di sekolah, yang tidak profesional dalam mendidik anak.

Setelah mendengar penjelasan lebih lanjut saya menyimpulkan bahwa ini pasti akibat perlakuan guru yang tidak benar terhadap Toni. Tapi untuk memastikan hal ini saya akan menggali langsung dari Toni.

Saat bertemu dengan Toni, yang diantar oleh ayah dan ibunya, saya melihat Toni baik-baik saja. No problemo. Toni, walaupun agak sedikit tidak percaya diri karena baru pertama kali bertemu dengan saya, bisa diajak komunikasi dengan lancar.

Saya lalu mengajak Toni bermain sulap sambil disaksikan kedua orangtuanya. Toni sangat senang dan antusias. Sambil bermain dan mengarahkan fokus Toni ke permainan yang sedang saya lakukan, saya mengajukan pertanyaan kepada Toni. Kesannya hanya sambil lalu.

Yang saya tanyakan, ”Toni sekarang umurnya berapa? Siapa teman Toni di kelas? Satu kelas ada berapa anak?”

Toni mampu menjawab pertanyaan saya dengan lancar dan gembira sambil terus fokus pada permainan sulap.

Raut wajah dan mood Toni langsung berubah drastis saat saya bertanya, “Siapa Miss (guru) yang paling Toni sayang?”

Begitu mendengar pertanyaan ini Toni langsung diam, matanya melirik ke kiri atas sejenak (mengakses memori dalam bentuk gambar) lalu ke kanan bawah (mengakses emosi), raut wajahnya berubah sedih, dan langsung menangis.

Orangtua Toni melihat dengan sangat jelas perubahan ini. Dari sini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu pada Toni yang dilakukan oleh gurunya. Apa itu? Saya tidak tahu. Dan Toni juga tidak mau menceritakannya. Setiap kali saya mulai menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan gurunya, Toni pasti menangis.

School phobia yang dialami Toni, dari pengalaman saya menangani anak yang mengalami masalah yang serupa, sebenarnya hanya merupakan simtom dari akar masalah yang lebih serius, yaitu perasaan takut, terancam, tidak nyaman, tidak berdaya, dan tidak aman bila berada di dalam kelas. Semua ini merupakan akibat dari tindakan guru, baik secara sengaja maupun tidak, yang telah melukai hati seorang anak.

Orangtua yang tidak tanggap dan jeli biasanya tidak akan memperhatikan sejauh ini. Biasanya orangtua ini akan membujuk dan kalau perlu memaksa anak untuk sekolah lagi. Akibatnya bisa sangat buruk terhadap anak. Anak akan menjadi benci sekolah dan akhirnya benar-benar tidak mau sekolah sama sekali.

Biasanya yang akan ditangani oleh orangtua ataupun sekolah hanyalah habit yang tampak dalam perilaku, yaitu tidak mau sekolah. Akar masalah yang sesungguhnya tidak tertangani dan akhirnya mengendap di memori anak. Di masa mendatang hal ini akan menjadi bom waktu yang sangat berbahaya.

Prinsip yang sama berlaku terhadap anak yang ”nakal”. Mengapa anak dicap nakal? Biasanya anak nakal karena mereka ingin mendapat perhatian dari orangtuanya. Biasanya anak akan meminta perhatian itu dengan cara yang baik-baik. Jika cara baik-baik ini tetap tidak mendapat perhatian semestinya maka secara naluriah anak akan melakukan hal-hal lain yang bisa menarik perhatian orangtuanya.

Biasanya yang dilakukan anak untuk menarik perhatian orangtuanya, bila cara baik-baik tetap tidak diperhatikan orangtua, adalah dengan marah, menangis, membangkang, mengganggu adik atau kakaknya, berulah, atau tindakan apa saja yang bisa membuat orangtua, untuk sementara waktu, harus mencurahkan perhatian pada si anak.

Bila strategi ini berhasil satu kali saja maka pikiran bawah sadar anak mulai diedukasi oleh respon yang diberikan orangtua. Selanjutnya anak akan mencoba lagi dengan mengulangi strategi yang sama. Jika kembali berhasil, orangtua memberikan ”perhatian” (baca: marah atau teriak), maka anak akhirnya tahu cara jitu untuk mendapatkan perhatian.

Selanjutnya bisa ditebak apa yang akan dilakukan si anak setiap kali ia ingin mendapat perhatian. Anak pasti akan berulah dan orangtua pasti marah. Akhirnya, karena seringkali diulang (repetisi), anak membentuk kebiasaan/habit ”nakal”. Karena sudah menjadi habit atau kebiasaaan maka untuk mengubahnya akan cukup sulit.

Ada kata bijak yang berbunyi, ”When is the right time to kill a monster? When it is still small”. Artinya, waktu yang paling tepat untuk membunuh seekor monster (baca: kebiasaan buruk) adalah saat monsternya masih kecil (kebiasaan buruk baru mulai terbentuk). Saat monster ini sudah besar (baca: kebiasaan sudah sangat kuat) maka kita yang akan dibunuh oleh monster (kebiasaan) ini.

Oh ya, saat orangtua marah pada anaknya maka saat itu mereka telah memberikan ”perhatian” penuh dan sangat fokus pada anak. Mana bisa kita, orangtua, marah hanya sambil lalu atau tidak fokus. Marah pasti diikuti dengan tingkat intensitas fokus yang tinggi.

Nah, dari apa yang telah saya ceritakan di atas maka kini tampak jelas bahwa ”nakal” adalah habit yang berawal dari simtom. Simtom ini, sesuai dengan definisi, merupakan sebuah tanda atau indikasi dari keberadaan sesuatu. Apa itu? Kebutuhan akan perhatian.
Kasus yang saya ceritakan di atas kesannya ”seram”, ya. Sebenarnya proses yang sama berlaku bagi habit yang positif. Misalnya anak kita marah atau berulah ingin mendapat perhatian kita. Kita, bukannya terpancing ikut marah, dan karena kita mengerti apa yang sebenarnya terjadi yaitu anak butuh perhatian, mengarahkan perilaku anak ke arah yang lebih konstruktif.

Caranya? Kita bisa mengajar anak untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya anak kita kesal karena kita kurang memberikan waktu atau perhatian, kita terlalu sibuk dengan pekerjaan kita. Nah, daripada marah-marah dan berulah alangkah baiknya bila anak bisa mengkomunikasikan perasaan ini kepada kita secara verbal dan dengan cara yang sopan, benar, dan terarah.

Bila pola ini diulang-ulang maka akan membentuk suatu kebiasaan/habit positif. Anak bisa mengerti emosinya dan mengungkapkan emosi ini dengan cara yang proaktif dan konstruktif.

Pola pembentukan habit, yang berawal dari simtom, yang merupakan bagian dari suatu akar masalah tertentu, berlaku universal. Maksudnya, setiap habit atau kebiasaan bila kita telusuri dengan hati-hati maka akan merujuk pada suatu simtom. Selanjutnya bila mengerti caranya kita bisa mengungkapkan akar masalah yang menjadi sumber simtom.

Yang sulit adalah bila suatu habit merujuk pada suatu simtom yang merupakan simtom dari suatu akar masalah. Artinya terdapat double symtom.

Anda mungkin bertanya, ”Ah, masa ada kasus seperti ini?”

Ada seorang pria dewasa, seorang pengusaha sukses, yang begitu takut sama ayam. Ini ayam sungguhan, lho. Bukan ayam-ayam-an. Anda mengerti maksud saya, kan? Setiap kali bertemu ayam maka pria ini pasti langsung menghindar.

Setelah saya bantu akhirnya terungkap bahwa, secara spesifik, ia sangat takut dengan paruh ayam. Ketakutan ini yang akhirnya membuat ia selalu menghindar bertemu dengan ayam.

Kebiasaan menghindari ayam ternyata merupakan simtom yang berawal perasaan takut pada pisau. Setelah digali lebih lanjut ternyata perasaan takut pisau ini merupakan metafora dari perasaan sakit tertusuk, pada sekujur tubuhnya, saat ia dipeluk oleh ibunya. Ternyata akar masalah yang sesungguhnya, setelah digali dari perasaan sakit tertusuk pisau, adalah perasaan terluka dan benci yang sangat dalam terhadap ibunya. Jadi, setiap kali dipeluk ibunya, sewaktu ia masih kecil, perasaan terluka dan benci ini berubah menjadi perasaan sakit seperti tertusuk.

Oh ya, pria ini setelah dibantu akhirnya berhasil mengatasi masalahnya.

No comments:

Post a Comment