Oleh : Adi W. Gunawan
It is not enough to be busy; so are the ants.
The question is: What are we busy about?
~Henry David Thoreau
Dalam perjalanan dari Surabaya ke Jakarta baru-baru ini, saat di pesawat, saya duduk berdampingan dengan seorang ibu, sebut saja Bu Yuni. Terus terang saya agak kaget waktu disapa oleh Bu Yuni, “Hi, Pak Adi, ya? Apa kabar Pak? Wah, nggak nyangka lho bisa bertemu Pak Adi di sini.”
Sambil bersalaman dan menjawab pertanyaan Bu Yuni saya berusaha keras mengingat di mana pernah bertemu dengan Bu Yuni. Bu Yuni menyadari kebingungan saya dan berkata, “Bingung, kan? Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya Pak. Saya mengenal Pak Adi melalui berbagai artikel yang Bapak tulis di internet dan juga buku-buku Bapak”.
“Oh… begitu toh ceritanya. Makanya saya bingung. Lha, Ibu kenal saya tapi saya kok nggak ingat pernah bertemu Ibu.”, jawab saya lega.
Selama perjalanan sekitar 1 jam antara Surabaya – Jakarta saya memberikan ”mini seminar” dan menjadi rekan diskusi dan sharing dengan Bu Yuni.
Ada banyak hal yang Bu Yuni tanyakan. Salah satu yang menarik adalah mengenai stress yang dialami anak Bu Yuni, yang di SD kelas 3, karena beban pelajaran yang sangat berat.
”Ah, itu sudah lumrah, Bu. Kalau nggak stress namanya bukan sekolah”, canda saya
”Ya, tapi kan kasihan anak saya, Pak. Coba bayangkan. Sudah banyak ulangan, hampir tiap hari deh ulangannya, masih dikasih tugas, eh masih ditambah PR yang sangat banyak. Saya sampe kasihan sama anak saya. Waktunya habis hanya untuk ngerjakan PR, tugas, belajar, dan terus belajar. Nggak ada waktu untuk bermain dan menikmati masa kecil”, keluh Bu Yuni sambil menghela nafas panjang.
Pembaca yang budiman, apa yang saya ceritakan di artikel ini adalah hasil diskusi saya dengan Bu Yuni selama di pesawat dan dilanjut sampai di ruang kedatangan bandara.
Pembaca, pernahkah anda, sebagai orangtua atau pendidik, memikirkan dengan sungguh-sungguh manfaat PR, yang jumlahnya cukup banyak, yang harus dikerjakan anak/murid kita setiap hari?
Dulu saya juga merenungkan hal yang sama. Saat itu saya mengajukan berbagai pertanyaan seputar PR kepada diri saya sendiri:
• Apakah ada pakar yang pernah meneliti korelasi antara PR dan prestasi akademik?
• Apakah benar semakin banyak PR yang dikerjakan maka hasilnya semakin baik untuk anak?
• Apakah nggak sebaliknya, semakin banyak PR justru berpengaruh negatif?
• Apakah ada mata kuliah yang mengajarkan tata cara yang benar dalam memberikan PR kepada anak/murid?
• Apakah ada cara lain, selain PR, untuk meningkatkan prestasi anak?
Setelah banyak merenung, banyak bertanya, banyak membaca literatur, searching di Internet, dan membaca pemikiran para pakar, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa PR yang banyak tidak menjamin peningkatan prestasi akademik.
PR sebenarnya tidak perlu banyak-banyak. Seperlunya saja. PR yang sangat banyak, ditambah lagi dengan beban pelajaran dalam bentuk ujian dan tugas-tugas lainnya justru berakibat negatif pada anak. Saat ini ada sangat banyak anak yang stress karena sekolah. Proses belajar yang seharusnya menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan ternyata kini justru menjadi sesuatu yang sangat membebani anak.
Baru-baru ini saya membaca satu buku bagus, karya Sara Bennet dan Nancy Kalish, yang berjudul The Case Against Homework: How Homework is Hurting Our Children and What We Can Do About It.
Wah, saya senangnya bukan main saat membaca buku ini. Mengapa? Karena buku ini berisi penelitian para pakar di Amerika mengenai korelasi antara PR dan prestasi akademik anak. Apa yang ditulis di buku ini memvalidasi kesimpulan saya mengenai PR. Bahkan lebih ekstrim lagi.
Banyak orangtua dan pendidik yang ”yakin” bahwa PR sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dan hasil pembelajaran anak. Namun penelitian, seperti yang dipaparkan di buku The Case Against Homework, justru mengatakan yang sebaliknya.
National Education Association, yang beranggotakan lebih dari 2,7 juta pendidik di Amerika, dan juga National Parent Teacher Association mengeluarkan panduan tata cara memberikan PR yang benar dan layak.
Tahukah anda apa yang mereka rekomendasikan?
Kedua asosiasi ini merekomendasikan lama waktu ideal untuk mengerjakan PR setiap hari sebagai berikut:
• usia TK sampai SD kelas 2 antara 10 sampai 20 menit
• SD kelas 2 sampai 6 antara 30 sampai 60 menit
Sedangkan menurut Prof Harris Cooper, salah satu peneliti terkemuka di bidang ini, dan juga penulis buku The Battle Over Homework: Common Ground for Adminstrators, Teachers, and Parents, sekolah harus mengikuti aturan “10 menit per malam per level kelas”. Jadi, untuk anak kelas 1 SD maka waktu mengerjakan PR maksimal 10 menit per malam. Untuk kelas 2 SD maksimal 20 menit. Demikian seterusnya.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah hasil review yang dilakukan Prof Cooper, pada tahun 2001, atas lebih dari 120 studi mengenai PR dan efeknya, dan ditambah lagi dengan review, pada tahun 2006, terhadap 60 studi lainnya, dengan topik yang sama, ternyata diperoleh data bahwa hampir tidak ada korelasi antara jumlah PR dan prestasi akademik di SD. Sedangkan untuk level sekolah menengah (SMP/SMU) terdapat korelasi yang moderat antara jumlah PR dan prestasi akademik. Namun jika PR yang diberikan terlalu banyak, di sekolah menengah, justru akan kontraproduktif.
Menurut David Baker dan Gerald LeTendre, profesor pendidikan dan penulis buku National Differences, Global Similarities: World Culture and the Future of Schooling, negara-negara yang terkenal dengan pendidik yang memberikan PR yang banyak, seperti Yunani, Thailand, dan Iran ternyata prestasi akademik murid mereka justru sangat buruk.
Sebaliknya negara-negara seperti Jepang, Denmark, dan Czech Republic, yang murid-muridnya menempati ranking tertinggi prestasi akademik dalam skala dunia, ternyata guru-guru di negara ini memberikan sangat sedikit PR.
Prof Baker menyimpulkan bahwa semakin banyak PR yang diberikan kepada murid maka semakin buruk prestasi akademik yang dicapai.
Bahkan pakar lainnya, Prof Kralovec, menyatakan bahwa tidak ada bukti sama sekali bahwa PR baik untuk pemantapan hasil belajar.
Di akhir tahun 1990an banyak sekolah dasar di Jepang yang menetapkan kebijakan ”no-homework” alias tidak ada PR. Tujuannya adalah agar anak bisa mempunyai lebih banyak waktu luang bersama keluarga dan mengerjakan hal-hal lain, di luar kegiatan sekolah, yang menarik minat mereka.
Survey tahun 2006 oleh American Psychological Association (APA) terhadap 1.300 pelajar sekolah menengah mendapatkan data bahwa lebih dari 42% pelajar menyatakan PR mengakibatkan sangat banyak stress dalam diri mereka. Dan hampir 16% mengatakan mereka mengalami stress yang ekstrim.
Sewaktu saya menjelaskan hasil riset ini Bu Yuni langsung bertanya, ”Nah, saya mau tanya nih sama Bapak. Pak Adi kan telah mendirikan sekolah Anugerah Pekerti di Surabaya. Bagaimana kebijakan yang Pak Adi tetapkan di sekolah Anugerah Pekerti dalam hal PR?”
Hasil riset ini tentu harus kita sikapi dengan cermat dan bijaksana. Kami memberikan PR seperlunya saja. Apabila anak diminta mengerjakan latihan soal atau PR maka kami memastikan bahwa anak akan melakukannya dengan hati gembira, tanpa tekanan sama sekali. Bahkan seringkali yang tertulis di agenda murid adalah, ”Kerjakan soal latihan di buku paket matematika, terserah berapa halaman!”
Eiit... tunggu dulu. Jangan salah mengerti dengan apa yang barusan saya jelaskan. Walaupun guru memberikan pesan ”Kerjakan soal latihan di buku paket matematika, terserah berapa halaman!” namun murid kami mengerjakan PR atau latihan sampai berpuluh-puluh halaman. Sama sekali tanpa merasa stress atau tertekan.
Lha, kok bisa?
Dengan memahami psikologi anak, menerapkan proses pembelajaran yang menyenangkan, memahami cara kerja pikiran dan memori, membangun ekspektasi yang tinggi dalam diri setiap murid, menggunakan teknik goal setting yang kondusif dengan tingkat tantangan yang moderat, dan masih banyak pendekatan lainnya, kami bisa membangkitkan motivasi intrinsik dalam diri setiap murid sehingga mereka sangat senang mengerjakan PR atau latihan.
Jadi, PR yang banyak sebenarnya tidak jadi masalah jika anak senang mengerjakannya dan sama sekali tidak merasa terbebani.
Anda mungkin akan berkata,”Sudah tentu Pak Adi bisa melakukan hal ini di sekolah Anugerah Pekerti. Kan Bapak pendirinya. Sekolah lain belum tentu bisa melakukan seperti apa yang guru Anugerah Pekerti lakukan.”
Apakah hanya sekolah kami yang bisa melakukan hal ini?
Oh, tidak.
Pertengahan Maret 2007 lalu saya dan Pak Ariesandi memberikan pelatihan Genius Learning Strategy dan aplikasinya di bidang studi matematika kepada 40 orang guru SD di wilayah Kab. Pasuruan.
Hasilnya?
Luar biasa. Salah satu guru, yang telah menerapkan apa yang kami ajarkan, memberikan laporan yang sungguh menggembirakan. Guru ini, Pak Pendi, berhasil meningkatkan motivasi belajar siswanya, murid SD kelas 6, secara luar biasa. Seluruh murid Pak Pendi sekarang sangat senang belajar. Bahkan prestasi akademik yang dicapai kelas Pak Pendi telah melampaui prestasi kelas satunya yang nota bene terdiri dari anak-anak pilihan. PR? Sama sekali tidak ada masalah. Justru murid-muridnya, dengan senang hati, minta latihan soal kepada Pak Pendi.
Poin penting yang perlu diperhatikan yaitu PR yang diberikan harus didesain sedemikian rupa sehingga hampir semua murid dapat mengerjakan dan menyelesaikan dengan baik dan mendapat nilai evaluasi yang baik. PR atau tugas yang diberikan tidak boleh terlalu sulit. Jika terlalu sulit maka yang lebih sering terjadi adalah PR itu dikerjakan oleh para orangtua, bukan oleh anak/murid. Sudah menjadi rahasia umum orangtua yang lebih sibuk, daripada anaknya, saat si anak mendapat PR.
Selain itu PR tidak boleh sebagai hukuman. Bila kita memberikan PR sebagai bentuk hukuman maka anak akan benci PR dan selanjutnya menjadi benci belajar.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah guru, pada umumnya jarang sekali, jika tidak mau dikatakan tidak pernah, saling berkomunikasi mengenai PR atau tugas yang akan diberikan kepada murid. Seringkali terjadi tumpang tindih dalam memberikan PR atau tugas. PR atau tugas sebenarnya bisa dikurangi bila sesama guru saling berkoordinasi sehingga satu tugas meliputi beberapa bidang studi.
Apakah mungkin kita meniadakan PR sama sekali? Jawabannya may be yes... may be no.
PR bisa ditiadakan bila pembelajaran di kelas tuntas. Jadi, anak benar-benar mengerti materi yang diajarkan gurunya di kelas. Nah, jika ini bisa kita lakukan maka PR bisa ditiadakan. Atau bila tetap perlu diberi PR maka yang diberikan kepada anak hanya secukupnya saja. Nggak usah banyak-banyak.
Kita ambil contoh matematika. Bila anak telah menguasai konsep dengan benar dan telah mampu mengerjakan, katakanlah, 5 (lima) soal dengan benar maka ini sudah cukup. Tidak ada gunanya untuk meminta mengerjakan 10, 20, atau bahkan 30 soal latihan dengan topik yang sama.
PR yang secukupnya ini selain untuk melatih dan menumbuhkan kebiasaan belajar, tanggung jawab akademik, disiplin, juga bisa digunakan untuk semakin mempererat hubungan antara orangtua dan anak.
Saat orangtua, yang peduli dan perhatian dengan anak, membantu anak mengerjakan PR maka terjalin komunikasi batin yang intens dan konstruktif. Hal ini sangat dibutuhkan anak saat tumbuh kembang.
Pembaca, setelah membaca uraian saya, ditambah dengan pengamatan terhadap apa yang dialami anak/murid anda dengan mengerjakan PR yang banyak, saya ingin menutup artikel ini dengan satu pertanyaan pada anda, “Apakah PR benar-benar bermanfaat bagi kemajuan anak kita? Jika anda bisa mengubah sistem pendidikan, kebijakan apa yang akan anda terapkan dalam hal pemberian PR kepada anak/murid?”
No comments:
Post a Comment