Thursday, March 19, 2009

Akibat Komunikasi Koruptif

Artikel Tetap
Selasa, 20-Januari-2009; 18:52:10 WIB
Akibat Komunikasi Koruptif
( 0 Komentar ) - Klik Profil Penulis
Rating Artikel :
Oleh : Ponijan Liaw

Save page as PDF

Seorang sahabat mencurahkan kegelisahan, kegalauan dan ketidakmengertiannya tentang kebijakan sunset policy yang didapatkannya dari berbagai media informasi yang ada belakangan ini. Inilah yang membuat sobat itu bingung. Berita sebelumnya berkata bahwa para pemilik NPWP baru akan mendapatkan pembebasan dari membayar fiskal ke luar negeri di awal tahun 2009. Sebulan setelahnya, informasi berubah menjadi: hanya mereka yang memiliki NPWP satu bulan di depan sebelum keberangkatannyalah yang berhak menikmati bebasnya fiskal dimaksud. Seminggu menjelang tahun baru, keluar lagi informasi bahwa mereka yang punya NPWP bisa langsung mencicipi nikmatnya sajian otoritas perpajakan nasional berupa bebas fiskal.

Sungguh sebuah komunikasi koruptif yang terjadi seenaknya tanpa memikirkan kepentingan publik. Jika sudah berkuasa, lupa bahwa ada tangan-tangan yang mengusungnya (baca: rakyat) yang harus dilayani dengan hati, jujur dan bertanggung jawab. Sinyalemen Lord Acton bahwa ‘power tend to corrupt' bukan merupakan isapan jempol belaka jika melihat kejadian di atas.

Lain soal sunset policy, lain pula hal kelangkaan BBM. Beberapa daerah mengalami ketiadaan bahan bakar kebutuhan dasar penduduk itu. Usut punya usut, pengusaha SPBU tidak berani memesan atau menambah stok BBM-nya karena simpang siurnya sikap pemerintah soal ini. Bisa dibayangkan, bagaimana gaya komunikasi macam ini bisa diterapkan oleh pemerintah yang notabene memiliki pakar ekonomi yang konon sering mendapat apresiasi global itu. Informasi yang tidak tegas dan jelas, menyebabkan rakyat yang harus menerima akibatnya. Bukankah ini sebuah komunikasi koruptif yang menyebabkan masyarakat luas terpuruk semakin jauh dalam samudera penderitaannya? Bagaimana ini bisa tidak segera disikapi? Betapa komunikasi yang tersampaikan kepada masyarakat menjadi rumor yang tidak jelas juntrungannya. Padahal komunikasi itu adalah menyampaikan apa yang ada di pikiran si penutur untuk mengurangi rasa ketidakpastian sebagaimana dikatakan oleh Barnlund (1970).

Gaya komunikasi seperti itu tentu tidak salah secara substansif, namun ia menjadi keliru dan mengalami deviasi destinasi jika dilakoni secara impulsif - dilakukan kapan saja sesuka hati sang pemberi pesan. Padahal tujuan komunikasi dibuat pasti untuk mendapatkan kesepahaman sang penerima pesan yang muaranya akan diterjemahkan ke dalam aksi nyata sesuai butir-butir keputusan itu.

Ada baiknya, pemerintah dan semua korporasi yang kerap bersentuhan dengan pelayanan publik menginternalisasikan teori komunikasi yang sangat legendaris dari salah satu teoritikus komunikasi massa yang pertama dan paling terkenal Harold Lasswell. Dalam artikel klasiknya (1948), ia mengemukakan model komunikasi yang sederhana namun sarat hasil yakni: who says what in which channel to whom and with what effect - "siapa" "mengatakan "apa" "dengan saluran apa", "kepada siapa" , dan "dengan akibat apa" atau "hasil apa". Seluruh elemen persyaratan sebuah komunikasi yang baik ada disana. Jika kita kembali ke persoalan sunset policy dengan menggunakan teori ini, yang mungkin kurang dalam prosedur komunikasi publik disana adalah masalah ‘hasil' yang ingin dicapai.

Hasil yang akan dicapai mengalami pasang surut bagaikan fluktuasi harga saham di pasar bursa. Pada satu periode yang begitu singkat, sasaran yang akan dicapai sudah mengalami perubahan yang tidak jelas. Sangat impulsif sifatnya. Padahal komunikasi awal sudah terlanjur diproses dalam mental setiap pendengarnya untuk selanjutnya diintegrasikan dalam diri. Belum pun terjadi proses adjustment - penyesuaian - policy itu sudah berubah lagi. Bukankah konstruksi informasi yang sudah mulai mengembrio untuk menjadi bayi itu harus runtuh dan memberikan kemalangan buat pemiliknya? Pemahaman pembuat kebijakan rasanya perlu ditambah dengan rasa empati sebelum sebuah kebijakan disosialisasikan. Karena itu, tidak berlebihan jika akhirnya komunikasi jenis ini dimasukkan dalam kategori komunikasi koruptif.

Komunikasi jenis ini memiliki kecenderungan menyebarkan berita-berita yang kelihatannya baik untuk memberikan efek positif sesaat. Selanjutnya, sebagian elemen penyokong informasi akan dipreteli satu demi satu yang akhirnya tidak lagi membuat bangunan informasi yang utuh. Informasi macam ini akan menjadi sebuah ide koruptif yang tidak komprehensif lagi sebagaimana niat awal sang penggagasnya. Rakyat mengalami kebingungan kolektif atas insentif positif yang sejatinya baik dan mulia itu. Untuk itu, alangkah baiknya jika setiap korporasi mulai memikirkan pentingnya proses sebuah komunikasi sebelum disampaikan kepada publik. Karena komunikasi itu adalah sebuah proses transaksi informasi menurut Barnlund (1970).

Informasi dijual, pendengar membeli. Jika informasi berubah-ubah, pembeli tidak akan percaya. Jika sudah demikian, biaya besar pembuatan media promosi dan sosialisasi tidak mungkin berbanding lurus dengan proyeksi target dan destinasi yang akan dicapai. Pertimbangan yang baik dalam hal itu tentu akan mencegah akibat komunikasi koruptif yang pasti sangat merugikan dan merendahkan derajat korporasi.

Ponijan Liaw

ponijan@central.net.id

Penulis Buku-buku Bestseller Komunikasi & Zen

No comments:

Post a Comment