Friday, March 20, 2009

Jujur Diri Melalui Analisis Value

Oleh : Adi W. Gunawan

Hari Jumat kemarin saya memberikan seminar di Purwokerto mulai siang hingga sore hari. Selesai seminar kami berempat, saya , istri saya Stephanie, Bu Ely Susanti, dan Bapak Prasetyo Erlimus melanjutkan perjalanan menuju Jogjakarta karena besoknya, hari Sabtu, saya memberikan seminar di Univesitas Gajah Mada.

Dalam perjalanan kami berempat mendiskusikan banyak hal. Salah satunya adalah tentang pentingnya kita melepaskan, atau kalau dalam bahasa terapi “release”, berbagai emosi negatif. Yang menjadi pertanyaan adalah, “Bagaimana kita tahu jika kita telah benar-benar melepas emosi negatif itu?” atau “Bagaimana caranya untuk bisa melepas emosi negatif itu selamanya?”

Satu contoh. Misalnya seorang kawan dekat menipu kita ratusan juta rupiah. Apa yang harus kita lakukan?

Tentu kita merasa marah, kecewa, jengkel, sakit hati, dendam, terluka, atau benci. Ada orang yang tetap tidak bersedia atau tidak tahu cara melepaskan emosi negatif ini. Pak Prasetyo bertanya, “Jika orang ini menawarkan kita satu kerjasama lagi, di bidang bisnis, kalau sudah release apakah kita akan ambil peluang ini? Jika kita menolak tawarannya, apakah ini berarti kita belum me-release sepenuhnya emosi negatif kita terhadap orang itu?”

Kita bisa ambil, bisa tidak. Semua bergantung pada nilai hidup atau value kita. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kita bisa serta merta menolak tawarannya. Namun hal ini bukan berarti kita masih menyimpan emosi negatif terhadap orang ini. Menolak tawaran yang secara kalkulasi bisnis bisa menghasilkan banyak uang tidak berarti kita masih punya kebencian terhadap orang ini.

“Lho, kalau kita menolak tawarannya, bukankah ini indikasi masih ada perasaan marah di hati kita terhadap orang ini?”

Bisa ya, bisa tidak. Di sini dibutuhkan kejujuran dan keberaniaan menyelami perasaan sendiri. Benar, kita bisa saja menolak. Namun bila penolakan ini didasarkan pada suatu emosi negatif, bukan berdasarkan akal sehat yang berlandaskan nilai hidup maka ini jelas-jelas membuktikan kita belum release sepenuhnya. Jadi, yang menjadi ukurannya adalah, sekali lagi, perasaan kita. Apakah kita feel good atau tidak saat menolak tawaran itu. Jika kita bisa menolak dengan tetap feel good maka hal ini berarti kita telah benar-benar release.

Ini satu contoh nyata. Seorang klien saya, sebut saja Pak Budi, pernah berbisnis dengan rekannya. Dua kali Pak Budi ditipu dan dikhianati oleh rekannya. Dua kali pula Pak Budi marah besar, sangat kecewa, dan terluka. Cukup lama Pak Budi berusaha melepas emosi negatifnya terhadap kawannya. Tetap tidak bisa. Sampai saya membantunya, dengan teknik tertentu, melepas emosi itu untuk selamanya. Begitu emosinya berhasil di-release, Pak Budi merasa begitu lega, tenang, damai, sabar,dan benar-benar nyaman.

Saat ini bila Pak Budi bertemu rekannya ia bisa berbicara, bergurau, dan berdiskusi dengan tenang, nyaman, sama sekali tidak ada perasaan negatif.

“Lho, kok bisa. Bukankah klien ini masih ingat kejadian bahwa ia ditipu kawannya. Bahkan sampai dua kali?”

Benar. Pak Budi tetap bisa mengingat semuanya. Namun saya telah menetralisir emosi yang sebelumnya melekat di memorinya. Jadi, ia tetap bisa mengingat namun tidak ada emosi negatif lagi. Bahkan Pak Budi bisa berterima kasih, tentunya hanya di dalam hati dan tidak disampaikan secara terbuka, kepada rekan yang telah menipunya karena telah mengajarkan pelajaran hidup yang sangat berharga. Pelajaran ini selanjutnya digunakan untuk mengembangkan dirinya dan meningkatkan kebijaksanaan klien saya.

Nah, saya bertanya kepada klien saya ini, “Pak, bila anda mendapat tawaran kerjasama dari rekan anda ini lagi, apakah anda akan menerima atau menolak?”

Pak Budi dengan tegas menjawab bahwa ia akan menolak.

“Lho, bukankah Bapak sudah me-release semua emosi negatif Bapak terhadap rekan Bapak itu?”, kejar saya.

“Betul Pak. Bapak telah membantu saya me-release semua emosi negatif itu. Dan saya belajar banyak dari pengalaman ini. Alasan saya tidak mau bekerja sama lagi dengan rekan saya ini bukan karena saya membenci dirinya. Saya hanya menggunakan akal sehat saya. Saya menggunakan kebijaksanaan saya. Jika ia bisa menipu saya sampai dua kali, dan ini jujur yang goblok adalah saya sendiri kok ya bisa sampai ditipu dua kali, maka besar kemungkinan ia bisa melakukan hal yang sama kepada saya di masa depan. Yang lebih penting lagi, dari kejadian yang saya alami, telah terbukti bahwa value atau nilai-nilai hidup kita, termasuk value yang melandasi bisnis, tidak sejalan. Nah, kalau value-nya nggak cocok lebih banyak jangan melakukan kerjasama. Kalau saya terima tawarannya dan ditipu lagi maka saya harus cari Bapak lagi untuk membantu melepas emosi negatif saya. Saya bisa mengubah diri saya namun saya tidak mengubah rekan saya”, jawab Pak Budi dengan penuh kesadaran dan tenang.

Pak Budi saat ini justru sangat kagum pada rekannya. Mengapa kagum? Karena rekannya ini sukses menipu dirinya sampai dua kali. Luar biasa, kan? Ini yang disebut dengan peningkatan level kesadaran diri dan ekspansi kesadaran.

Menyambung pembahasan di atas, apakah kita bisa menerima tawaran orang yang telah menyakiti kita?

Bisa. Bila kita menerima tawaran ini maka yang bermain adalah dua jenis value. Value pertama adalah value tentang kesetiaan, integritas, dan kejujuran. Anda tahu rekan anda tidak jujur pada anda. Di sisi lain, ada value lain, yang ngurusin duit, yang berkata, “Hei, biarpun dia pernah nipu kamu, tapi tawarannya kali ini bisa memberikan hasil yang sangat besar. Nggak apa-apa deh kamu marah sama dia. Yang penting duitnya bisa didapat.”

Anda lihat bagaimana dua value sedang “bertempur”. Yang menjadi pemenang adalah value yang berhasil memunculkan emosi dengan bobot yang lebih berat. Jika perasaan marah atau terluka “bobotnya” kalah dengan perasan “nikmat” karena punya uang banyak maka anda akan menerima tawaran kerjasama itu. Demikian pula sebaliknya. Bila emosi marah ini lebih kuat daripada perasaan “nikmat” punya uang banyak maka anda pasti akan menolak tawaran kerjasama.

Anda jelas sekarang? Ingat, seperti yang selalu saya sampaikan, “Value adalah timbangan mental yang menentukan setiap keputusan yang kita buat.”

Hati-hati dengan value anda. Kita perlu jeli melakukan pengamatan dan analisis terhadap value. Ini ada kisah klien saya yang lain, sebut saja Pak Johan. Klien ini berkata bahwa ia ingin membantu rekannya yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Untuk itu Pak Johan melakukan kerjasama bisnis dengan rekannya.

Bila dilihat sekilas tujuan Pak Johan sungguh mulia, ingin membantu rekan. Setelah satu tahun kerjasama mereka berakhir. Ujung-ujungnya Pak Johan berkata, “Ternyata value kita tidak cocok. Dulu waktu memulai kerjasama dengan rekan saya ini, hati saya nggak enak. Suara hati saya menolak. Tapi tetap saya teruskan. Bahkan istri saya pun berkata jangan. Tetap saya teruskan. Saya menyesal karena tidak mendengarkan suara hati saya dan intuisi istri saya.”

Selidik punya selidik ternyata saat Pak Johan menerima tawaran kerjasama, yang bermain adalah keserakahannya. Ia ingin dapat hasil yang sangat besar dalam waktu sesingkat-singkatnya. Keserakahan menutupi akal sehatnya dalam bentuk kamuflase “ketulusan” ingin membantu rekan yang mengalami kesulitan keuangan.

Ck.. ck.. ck.. anda lihat. Betapa halusnya permainan pikiran. Kalau tidak hati-hati kita bisa ditipu habis-habisan oleh pikiran. Ada yang mengatakan, “Mind is a very cruel master but a very useful servant”. Itulah sebabnya kita perlu berani bersikap jujur dan tegas kepada diri sendiri. Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah value kita. Dan kita juga bukan emosi kita.

No comments:

Post a Comment