Pensiun muda, kaya raya, dan bahagia adalah idaman setiap orang. Siapa yang mau kerja sampai tua tapi tetap miskin dan menderita? Ada orang yang setelah menetapkan goal mereka dapat mencapai goal itu dengan cukup mudah. Ada yang perlu kerja sedikit lebih keras… dan akhirnya berhasil. Namun ada juga yang telah bekerja sangat keras tetap belum bisa berhasil.
Sebenarnya apakah sulit untuk bisa pensiun muda, kaya raya, dan bahagia? Ah, nggak. Justru sangat mudah.
Jika memang sangat mudah mengapa banyak orang tidak bisa mencapainya? Nah, inilah alasannya saya menulis artikel ini.
Jawaban singkatnya sederhana sekali. Ini semua bergantung pada definisi sukses yang mereka tetapkan untuk diri mereka.
Lho, maksudnya?
Begini ya. Banyak orang tidak menetapkan secara sadar arti sukses bagi diri mereka. Umumnya orang, termasuk saya juga dulunya, mengadopsi sukses berdasarkan definisi atau kriteria orang lain. Itulah sebabnya bila kita bertanya kepada orang, “Apa yang ingin anda capai dalam hidup?”, mereka akan menjawab, “Sukses”. Kalau kita kejar lagi, “Sukses seperti apa?”, maka umumnya mereka akan menjawab, “Mencapai kebebasan waktu dan uang” atau “Pensiun dini”. Yang paling keren adalah jawaban, “Muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga”.
Dulu saya juga ingin sukses seperti di atas. Namun sekarang saya mengerti. Sukses bukanlah seperti yang didefinisikan kebanyakan orang. Kita harus menetapkan sendiri definisi sukses. Saya mendefinisikan sukses sebagai perjalan diri berdasar peta sukses yang kita rencanakan sendiri dengan kesadaran kita saat itu.
Di sini ada dua komponen penting. Pertama, sukses adalah perjalanan yang dilakukan berdasarkan peta sukses. Kedua, peta sukses ini kita rencanakan sendiri dengan kesadaran kita saat itu.
Peta sukses ini adalah impian-impian yang ingin kita capai dalam hidup. Impian harus memenuhi dua syarat utama yaitu harus bersifat personal dan bermakna. Dan yang lebih penting lagi adalah kita menetapkan impian dengan menggunakan kesadaran kita pada saat itu.
Hal ini berarti seiring dengan berkembang dan meningkatnya kesadaran diri maka kita perlu melakukan update impian-impian kita. Ada yang perlu kita tambah dan ada yang perlu kita hapus dari daftar. Mengapa sampai perlu dihapus dan ditambah? Karena seringkali apa yang dulu kita anggap penting ternyata sekarang sudah tidak penting lagi. Apa yang dulu kita anggap personal dan bermakna ternyata sekarang sudah tidak bermakna lagi karena level kesadaran kita telah berkembang. Sebaliknya apa yang dulu tidak terpikirkan oleh kita, eh… sekarang malah sangat penting untuk kita capai.
Impian harus ditetapkan dengan mengacu pada nilai-nilai hidup (value) tertinggi kita. Tidak asal ditetapkan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Saat impian sejalan dengan value maka impian ini berisi muatan emosi positif yang tinggi. Emosi positif ini selanjutnya akan menjadi pendorong, motivator, dan sekaligus provokator sehingga kita akan selalu semangat melakukan kerja atau upaya untuk mencapainya.
Pencerahan lain yang saya dapatkan adalah kita perlu hati-hati menetapkan makna kata “pensiun”. Mengapa? Karena ada begitu banyak orang sulit mencapai kebebasan waktu dan uang yang mereka impikan karena mereka dihambat oleh kata “pensiun”.
Lho, kok bisa begitu?
Begini ya. Manusia berpikir dengan menggunakan dua pikiran yaitu pikiran sadar dan bawah sadar. Pensiun diartikan sebagai sesuatu yang indah, kebebasan uang dan waktu, ini kan baru kita dapatkan setelah kita dewasa. Apalagi setelah membaca bukunya Robert Kiyosaki Cashflow Quadrant.
Pensiun menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya: 1) tidak bekerja lagi karena masa tugasnya telah selesai, dan 2) uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia. Definisi pensiun di atas nggak terlalu bagus, kan?
Nah, bagaimana dengan makna “pensiun” menurut orang di sekitar kita? Berbeda dengan definisi KBBI di atas, dari hasil programming saat kita masih kecil umumnya kata “pensiun” mempunyai arti “berhenti bekerja”, “uang pas-pasan”, “nganggur karena sudah nggak ada kerjaan”, “tidak punya kekuasaan”, “tidak dihargai orang”, “tua dan lemah”, atau “melewati hari-hari yang membosankan”.
Hal ini ditambah lagi ada banyak contoh orang yang pensiun dari jabatan tertentu eh.. dua tahun kemudian meninggal.
Jadi, tanpa kita sadari ada muatan emosi negatif yang cukup tinggi yang melekat pada kata “pensiun”. Emosi negatif ini bekerja di level pikiran bawah sadar dan tanpa kita sadari justru menjadi mental block yang menghambat upaya kita.
Langkah awal untuk pensiun adalah melakukan definisi ulang makna kata “pensiun”. Dan pastikan makna ini benar-benar masuk dan tertanam dengan kuat di pikiran bawah sadar kita.
Anda mungkin tidak percaya dengan apa yang saya jelaskan di atas, bahwa apa yang kita pikirkan secara sadar belum tentu sejalan dengan pikiran bawah sadar. Bila sampai terjadi konflik antara pikiran sadar dan bawah sadar maka yang selalu menang adalah pikiran bawah sadar.
Ini saya beri contoh nyata. Seorang kawan, sebut saja Budi, adalah anak muda yang sangat aktif dan percaya diri. Budi punya impian besar. Ia ingin jadi orang sukses. Budi menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Ia serius mengembangkan dirinya dengan membaca sangat banyak buku pengembangan diri, bisnis, keuangan, ekonomi, dan mengikuti berbagai seminar di dalam dan luar negeri. Budi telah mengikuti pelatihan semua pembicara top Indonesia. Di luar negeri Budi, antara lain, mengikuti pelatihan Anthony Robbins dan Robert Kiyosaki.
Setelah dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh Budi akhirnya memilih fast track menjadi orang kaya dengan menjadi pengusaha properti. Budi sadar sesadar-sadarnya bahwa, seperti ilmu yang ia dapatkan dari berbagai pelatihan yang ia ikuti, untuk bisa sukses finansial tidak perlu modal besar. “You don’ need a lot of money to make a lot of money”, ini mantra yang selalu ia sampaikan pada saya, “ Yang penting sikap, keyakinan diri, dan antusiasme”. Namun setelah mencoba sekian lama Budi masih tetap belum bisa berhasil. So, what’s wrong? Some thong wring… eh.. salah… some thing wrong.
Apa yang menjadi penghambat Budi?
Pikiran sadar Budi yakin bahwa tidak perlu uang banyak untuk sukes secara finansial. Namun pikiran bawah sadarnya berkata sebaliknya. Budi belum bisa sukses karena, menurut pikiran bawah sadarnya, tidak punya modal banyak. Hal ini semakin diperparah lagi dengan satu program pikiran yang ia dapatkan dari ayahnya yaitu kalau berbisnis tidak boleh mengambil untung banyak karena pelanggan bisa lari ke orang lain.
Saat keluar dari kondisi relaksasi pikiran dan diajak berdiskusi mengenai mental blocknya Budi sempat bingung. Ia berkata, “Ini benar-benar nggak masuk akal. Saya sudah yakin seyakin-yakinnya kalau mau sukses nggak perlu modal besar, eh… pikiran bawah sadar saya berkata sebaliknya. Makanya susah sekali untuk sukses. Rupanya saya disabotase pikiran saya sendiri. Padahal saya yakin sekali lho dengan apa yang diajarkan Kiyosaki.”
Nah, pembaca, anda jelas sekarang?
Kembali ke definisi kata “pensiun”, saya mendefinisikan pensiun bukan dari ukuran kebebasan waktu dan uang yang saya capai. Saya mendefinisikan pensiun sebagai melakukan sesuatu dengan pikiran tenang dan hati yang damai.
Nah, untuk bisa mencapai pikiran yang tenang dan hati yang damai, saat melakukan suatu kegiatan,pekerjaan, atau bisnis, maka saya perlu menetapkan syarat-syarat yang spesifik. Istilah teknisnya “rule” atau aturan.
Saya menetapkan syarat antara lain: 1) saya suka melakukan pekerjaan itu, 2) semakin saya melakukannya maka semakin diri saya bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik, 3) apa yang saya lakukan mempengaruhi hidup orang banyak secara positif, 4) saya menentukan harganya, 5) saya bisa melakukannya di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja, 6) tidak perlu banyak karyawan, 7) gudangnya ada di otak dan komputer saya, 8) saya bersedia tidak dibayar melakukan apa yang saya lakukan, 9) sejalan dengan tujuan hidup saya, 10) bisa diwariskan atau diteruskan oleh anak.
Jika anda baca dengan saksama maka syarat yang saya tetapkan di atas sebenarnya menjelaskan satu hal yaitu passion. Namun juga jangan salah mengerti ya. Jika hanya berbekal passion saja tidak cukup untuk sukses. Passion harus didukung oleh strategi yang jitu dan terarah.
Ada klien saya yang hanya mengandalkan passion saja, walaupun saya tahu ia orang yang sangat kompeten di bidangnya, ternyata harus mengalami kegagalan beruntun di dalam bisnisnya. Waktu saya tanya, “Strategi apa yang akan anda gunakan dalam memasarkan produk anda?”, jawabnya enteng, “Nggak usah pake strategi macam-macam. Pokoknya saya senang melakukan apa yang saya lakukan. Hasilnya pasti akan bagus. Nanti akan sukses dengan sendirinya”.
Apa yang terjadi? Benar di awal bisnisnya pesanan sangat banyak. Namun karena tidak didukung dengan perencanaan yang matang, klien ini harus kalang kabut untuk memenuhi pesanan produknya. Akibatnya, quality control terabaikan. Dan ending-nya, bisnisnya bubar karena banyak klien kecewa dan menolak melanjutkan kerjasama.
Defisi lain yang perlu kita tetapkan dengan sangat hati-hati adalah makna kata “kaya”. Apa ukurannya sehingga seseorang disebut sebagai orang kaya?
Masyarakat umumnya mengukur dari jumlah rupiah yang dimiliki seseorang. Semakin banyak rupiahnya maka semakin kaya orang itu. Apakah benar seperti ini?
Jawaban ini benar, untuk ukuran kebanyakan orang. Namun untuk diri kita sendiri, kita perlu menetapkan definisi yang personal. Kaya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jumlah rupiah. Kaya sebenarnya lebih ditentukan oleh perasaan cukup.
Apa maksudnya?
Begini, ada banyak orang yang sangat kaya (uangnya banyak sekali) namun sebenarnya ia hidup dalam kemiskinan. Juga ada sangat banyak orang yang miskin (uangnya sedikit sekali) namun mereka sangat kaya.
Seorang kawan dengan sangat bijak pernah berkata, “Orang kaya itu adalah orang miskin yang kebetulan uangnya banyak. Sedangkan orang miskin itu adalah orang kaya yang kebetulan uangnya sedikit.”
Lho, kok dibolak-balik?
Kaya atau miskin ini lebih ditentukan oleh perasaan cukup. Saat kita merasa cukup, kita puas dengan apa yang kita miliki, maka pada saat itu kita telah menjadi orang kaya. Kita bisa kaya tanpa harus punya uang sangat banyak. Sebaliknya, walaupun kita punya isi seluruh dunia, namun bila kita masih tetap saja merasa kurang maka sebenarnya kita adalah orang miskin. Bahkan John D. Rockefeller JR., berkata, “Orang termiskin yang aku ketahui adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali uang”.
Kaya raya ukurannya semata-mata hanyalah suatu perasaan. Dan karena parameternya adalah perasaan maka hal ini sangatlah subjektif. Setiap orang punya takaran sendiri. Kita tidak boleh menggunakan takaran orang lain untuk mengukur diri kita. Demikian pula sebaliknya kita tidak boleh menggunakan takaran kita untuk mengukur orang lain.
Nah, sekarang bagaimana menjadi bahagia?
Jika kita melakukan pekerjaan atau bisnis dengan hati gembira, karena sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup kita, dan menjadi kaya berdasarkan perasaan cukup yang kita tetapkan sendiri, dengan penuh kesadaran, maka hasil akhirnya kita pasti bahagia.
Saya pernah ditanya seorang peserta seminar, “Pak Adi, kalau memang Bapak sedemikian hebat, mengerti otak-atik pikiran, bisa membantu seseorang berubah dan sukses, mengapa Bapak tidak mendirikan banyak perusahaan dan menjadi milyuner? Atau mengapa Bapak tidak mencoba menjadi presiden RI?”.
Menjawab pertanyaan peserta ini saya menjelaskan dua hal. Pertama, saya tidak pernah mengklaim diri saya sebagai orang hebat. Saya hanyalah seorang pembelajar di Universitas Kehidupan yang kebetulan mengambil spesialisasi jurusan super spesialis teknologi pikiran. Saya belajar dan praktik lebih dulu dari peserta itu. Jika kita sama-sama belajar, bisa jadi peserta itu jauh lebih pintar dari saya.
Kedua, saya tidak akan mau mendirikan perusahaan besar ataupun jadi presiden RI. Sebenarnya sekarang pun saya adalah seorang presiden, Presiden Direktur di perusahaan Kehidupan saya sendiri. Alasan lainnya saya telah menentukan tujuan hidup saya, yang didasarkan pada nilai-nilai hidup saya. Saya punya parameter yang sangat subjektif yang digunakan untuk mengukur keberhasilan hidup saya. Salah satunya adalah ketenangan pikiran dan kedamaian hati.
Saya pernah menghentikan kerjasama dengan seorang saudara, walaupun bisnis itu bisa memberikan hasil yang luar biasa, namun saya tidak lagi merasa damai dan bahagia. Justru dengan bekerja sendiri pikiran saya menjadi lebih tenang dan hati saya lebih damai. Dan hasilnya, jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Nah pembaca, nggak susah kan untuk bisa pensiun muda, kaya raya, dan bahagia?
Kalau mati masuk surga, wah ini urusannya sama Tuhan. Saya nggak berani komentar.
No comments:
Post a Comment