“If you have time to be mindful, you have time to meditate”
~Ajahn Chah
Seorang guru spiritual, Ajahn Chah, suatu saat pernah mendapat pertanyaan, “Guru, di manakah tempat tinggal anda?”. “Saya tidak tinggal di mana pun”, jawab Ajahn Chah.
“Bukankah Guru tinggal di vihara?” tanya seorang umat dengan penasaran. “Saya tidak tinggal di manapun. Karena sebenarnya tidak ada Ajahn Chah.
Karena Ajahn Chah tidak ada maka tidak ada yang tinggal di suatu tempat” jawab Sang Guru.
Dalam kesempatan lain Ajahn Chah mendapat pertanyaan, “Siapakah Ajahn Chah?”, dari dua orang yang berbeda . Jawaban Ajahn Chah juga berbeda.
Untuk penanya pertama ia menjawab, “Ini, inilah Ajahn Chah”, sedangkan untuk penanya kedua ia menjawab, “Ajahn Chah? Tidak ada Ajahn Chah.”
Saya bingung saat membaca jawaban guru spiritual ini. Lha, mana ada orang yang nggak punya tempat tinggal. Dan lebih aneh lagi ia menjawab, “Tidak ada Ajahn Chah”.
Berarti ia menyangkal keberadaan dirinya. Lha, kalau Ajahn Chah tidak ada lalu siapakah yang bernama Ajahn Chah? Atau siapakah yang sedang berbicara?
Jawaban yang singkat namun sangat dalam ini membutuhkan beberapa waktu untuk saya telaah, renungkan, kunyah perlahan-lahan hingga akhirnya saya bisa memahami inti sari dari pernyataan Beliau.
Selain melakukan indepth thinking saya juga membutuhkan informasi tambahan untuk benar-benar bisa mengerti maksud Beliau. Sebagai seorang yang terbiasa berpikir logis maka saya membutuhkan informasi pendukung mengapa Ajahn Chah berkata, ”Tidak ada Ajahn Chah?” Apa maksud Beliau dan apa hubungannya dengan proses berpikir dan ”aku”? Jika tidak ada Ajahn Chah lalu siapakah orang yang mengeluarkan pernyataan?
Pembaca, setelah berpikir dan berpikir....eureka...akhirnya saya mengerti. Ajahn Chah benar. Yang Beliau maksudkan dengan ”Tidak ada Ajahn Chah” adalah padamnya ego yang selama ini menguasai diri kita.
”Aku”, ”Saya”, ”Punyaku”, ”Milikku” semua adalah permainan ego. Ego bekerja dan mempertahankan diri, memperkuat pengaruh, semakin memperbesar dirinya, dan semakin kuat mencengkeram kita dengan menggunakan dua strategi yaitu identifikasi dan separasi. Identifikasi berasal dari akar kata idem, yang berarti sama, dan facere yang berarti membuat. Jadi identifikasi berarti membuat menjadi sama.
Kita, manusia, senantiasa mengidentifikasi diri kita dengan sesuatu. Hal ini tampak dalam pernyataan ”Saya marah”, Ini ideku”, ”Ini rumahku”, ”Tubuhku gemuk”, ”Mobilku rusak”, dan masih banyak lagi pernyataan yang serupa.
Saat kita berkata ”Saya marah” maka kita mengidentifikasikan ”saya” dengan ”marah”. Berarti ”saya” sama dengan ”marah”. Saat kita berkata ”Ini ideku” maka kita menyamakan diri kita dengan ide kita. Itulah sebabnya bila ada orang yang mengkritik ide kita maka kita bisa marah besar.
Mengapa?
Karena kita menganggap orang itu mengkritik diri kita. Nah, ini kan bentuk identifikasi.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita ini sama dengan emosi kita? Apakah kita ini sama dengan ide kita? Tentu tidak.
Marah adalah suatu bentuk emosi. Dan kita tidak sama atau bukan emosi kita. Demikian juga dengan ide. Ide adalah buah pikir (thought) yang dihasilkan oleh pikiran (mind) melalui proses berpikir (think). Pikiran (mind) diarahkan oleh kesadaran (awareness).
Kita merasa bahwa kita sama dengan emosi atau ide kita karena ego yang membuatnya seperti itu. Apakah kita sama dengan pikiran kita? Tentu tidak.
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu tubuh fisik/badan dan batin. Batin manusia terdiri atas empat komponen yaitu pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran.
Dan kita bukanlah batin maupun fisik kita.
Identifikasi ini tampak jelas saat seorang anak menangis sedih karena mainannya rusak. Anak ini sedih bukan karena sayang dengan mainan yang harganya mahal.
Anak ini sedih karena identifikasi dalam bentuk ”Mainanku rusak” membuat ”mainan” masuk ke dalam struktur ”aku”. Dengan kata lain, anak merasa yang rusak bukan hanya mainannya namun juga ”dirinya”.
Identifikasi seperti ini juga tampak dalam diri pejabat yang mengalami post power syndrome, pengusaha yang dulu jaya tapi sekarang bangkrut, wanita yang dulunya langsing dan sexy namun sekarang gemuk, dan masih banyak contoh lain. Singkat kata identifikasi membuat seseorang melekat pada sesuatu.
Strategi kedua yang digunakan ego adalah separasi. Separasi maksudnya ”aku” adalah entitas yang berbeda dengan ”orang” atau ”aku” yang lain. Aku tidak bisa ada tanpa adanya ”yang lain”, kamu, dia, mereka.
Untuk mempertegas separasi ini ego biasanya menggunakan emosi negatif yang dimunculkan dengan menggunakan strategi ”mengeluh/menyalahkan” dan ”membenci” orang lain.
Semakin kita sering mengeluh atau menyalahkan orang lain maka semakin jelas separasi di antara kita dan mereka. Mengeluh dan menyalahkan diperkuat oleh emosi benci.
Lalu apa sih ego itu? Kok bisa pintar seperti ini kerjanya, sangat halus dan berbahaya?
Ego adalah hasil ciptaan pikiran kita.
Nggak percaya?
Coba lakukan eksperimen kecil ini. Misalnya ada orang yang berkata, ”Hei, manusia kurang ajar. Matamu ditaruh di mana kok sampe nginjak kaki saya?”, bagaimana reaksi anda? Apakah anda akan diam, tersenyum, atau marah? Bisa jadi anda, yang merasa tidak bersalah, akan marah besar.
Nah, sekarang skenarionya diubah. Misalnya saat anda sedang tidur lelap dan orang ini mengucapkan hal yang sama pada diri anda. Apa yang akan anda lakukan?
Bagaimana reaksi anda?
Saya yakin anda tidak akan berekasi sama sekali. Lha, lagi enak-enak tidur mana bisa mendengar omongan orang. Benar, nggak?
Ego beroperasi saat kita dalam kondisi sadar. Saat kita ”tidak sadar” (baca: tidur) maka ego juga berhenti bekerja.
Saat sedang merenungkan pernyataan Ajahn Chah tiba-tiba saya teringat satu pernyataan yang sangat terkenal dari Rene Descartes, filsuf besar abad ketujuh belas yang dianggap sebagai bapak filosofi moderen, ”Cogito Ergo Sum”, yang kalau dalam bahasa Inggris, ”I think, therefore I am”, dan kalau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi, ”Saya berpikir maka saya ada”.
Lama saya merenungkan pernyataan ini. Mana yang lebih dulu ada. Saya berpikir maka saya ada ataukah saya ada baru saya bisa berpikir? Pemikiran ini akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan bahwa sebenarnya ada lebih dari satu ”aku”. ”Aku” yang berpikir dan ”aku” yang berkata ”Saya ada”.
Semuanya menjadi semakin jelas saat saya membaca literatur yang berjudul ”Unity and Multiplicity: Multilevel Consciousness of Self in Hypnosis, Psychiatric Disorder and Mental Health” yang ditulis oleh John O. Beahrs.
Ternyata yang namanya kesadaran atau consciousness itu bertingkat-tingkat (multilevel). Kesadaran atau consciousness yang aktif dalam suatu saat bisa berbeda bergantung situasi dan kondisi.
Kesimpulan ini semakin diperjelas lagi saat saya membaca pernyataan Jean Paul Sartre yang juga mengatakan, ”Kesadaran yang mengatakan ”I am” bukanlah kesadaran yang berpikir (I think)”.
Apa maksudnya?
Saat kita sadar mengenai proses berpikir kita, atau dengan kata lain kita menganalisis atau menggunakan pikiran untuk berpikir mengenai apa yang kita pikirkan atau proses berpikir kita maka kesadaran yang melakukan analisis berbeda dengan kesadaran yang melakukan proses berpikir.
Secara teknis kemampuan berpikir mengenai berpikir disebut dengan metakognisi.
Saat kita sedang mengalami gejolak emosi maka hati-hati lah karena saat itu ego sedang bermain. Kita sering mendengar pernyataan, ”Saya merasa tersinggung dengan ucapannya”, atau ”Ini milikku. Jangan coba-coba sentuh”.
Cara untuk mengatasi cengkeraman ego adalah dengan mengajukan pertanyaan, ”Ok, kalau saya tersinggung, maka sebenarnya bagian mana dari diri saya yang tersinggung?”. Apakah rambut saya, telinga saya, mata saya, atau kaki saya?
Sama seperti mobil. Jika ada kawan yang berkata, ”Saya habis nyerempet pembatas jalan. Mobil saya penyok.” Tentu kita tidak akan serta merta menerima pernyataan ini. Kita pasti akan bertanya, ”Bagian mana yang penyok? Bemper depan, kiri, kanan, atau kena di bodi mobil?”
Nah demikian juga dengan manusia. Jika kita tersinggung maka pasti ada bagian yang mengalami perasaan tersinggung. Benar, nggak? Nah, kita harus mencari bagian ini. Sebab, jika kita menerima pernyataan ”Saya merasa tersinggung” secara utuh maka yang terkena dampaknya adalah diri kita secara keseluruhan.
Padahal bila kita teliti maka yang terkena dampak dari perasaan tersinggung sebenarnya hanyalah perasaan kita. Benar, hanya perasaan. Perasaan, yang merupakan salah satu dari empat komponen batin manusia, yang akan selalu mengalami berbagai emosi yang dialami seseorang. Baik itu emosi positif maupun yang negatif. Cara ini bertujuan untuk bisa melepaskan diri dari cengkeraman identifikasi yang dilakukan ego.
Singkat kata, saat kita merasakan sesuatu maka yang merasakan itu adalah ”perasaan”, bukan ”kita” atau ”aku”.
Demikian juga dengan pernyataan, ”Ini milikku’. Bisa kita tanyakan, ”Bagian mana dari diri saya yang memiliki benda ini?” Bagaimana dengan orang yang
mengalami amnesia atau lupa ingatan? Apakah orang ini masih bisa mengingat benda yang dulunya menjadi miliknya? Trus... kalau sudah lupa maka konsep ”milik-ku” runtuh dengan sendirinya.
Nah, pembaca, membaca sejauh ini apakah anda bisa menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan yang saya tulis sebagai judul artikel ini, ”Siapakah Aku?”.
Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan kalimat yang pernah saya baca di satu buku:
Saat aku mati, tubuhku akan dikubur dan kembali ke tanah
Jiwaku menunggu penghakiman di akhir jaman
Dan rohku akan kembali kepada Sang Khalik
Pertanyaan saya pada anda, ”Siapa atau apakah ”aku” pada kalimat di atas?”
No comments:
Post a Comment